Keberadaan koperasi di Indonesia hingga saat ini masih
ditanggapi dengan pola pikir yang sangat beragam, sebagai suatu perangkat sistem
kelembagaan yang menjadi landasan perekonomian kita, koperasi akan selalu
berkembang dinamis mengikuti berbagai perubahan lingkungan. Dinamika itulah
yang mengundang lahirnya beraneka pola tersebut. Gejala seperti itu justru
sangat positif bagi proses pendewasaan koperasi.
Jika kita kembali kepada pengertian koperasi itu sendiri,
yaitu lembaga ekonomi berwatak sosial, dalam lingkup pengertian seperti itu,
banyak pihak yang menafsirkan koperasi Indonesia hanya semata-mata sebagai
suatu lembaga dalam arti yang begitu sempit, yaitu organisasi atau lembaga atau
badan hukum yang menjalankan aktifitas ekonomi dengan tujuan peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
Padahal menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan
sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi
ekonomi. Oleh karena itu, seharusnya koperasi perlu dipahami secara lebih luas,
yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan
jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.
Dengan pemahaman demikian, jelaslah
bahwa dalam demokrasi ekonomi jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan
juga harus dikembangkan dalam wadah ekonomi lain, seperti BUMN dan swasta,
sehingga ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut dijamin keberadaannya dan memiliki
hak hidup yang sama dinegeri ini.
Selanjutnya timbul
pertanyaan bagaimana sebenarnya upaya kita menterjemahkan pengertian koperasi
ke dalam konsep sokoguru perekonomian kita? Jawaban sementara dapat
diketengahkan sebagai berikut, “jika kita ingin membangun pengertian dalam
lingkup konsep sokoguru perekonomian nasional kita,
Maka intinya adalah
bagaimana mengupayakan agar jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan
tersebut secara substantif berada dan mewarnai kehidupan dari ketiga wadah
pelaku ekonomi.” Jadi membangun sokoguru perekonomian nasional berarti
membangun badan usaha koperasi yang tangguh, menumbuhkan badan usaha swasta
yang kuat dan mengembangkan BUMN yang mantap secara simultan dan terpadu dengan
bertumpu pada Trilogi Pembangunan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat banyak.
Karena pemahaman dan
pemikiran terhadap koperasi dalam arti yang luas dan mendasar seperti
dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, memang sangat
diperlukan. Apalagi, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan
pembangunan kita di masa yang akan datang. Seperti telah kita sadari bersama
bahwa dalam era tinggal landas nanti, untuk mewujudkan perekonomian yang
berlandaskan Trilogi Pembangunan setidak-tidaknya terdapat tiga tantangan besar
yang perlu diantisipasi oleh ketiga wadah pelaku ekonomi, yaitu; 1.
Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam situasi proses globalisasi ekonomi
yang makin meluas. 2. Mempercepat pemerataan yang makin mendesak mengingat 36,2
juta rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan. 3. Memelihara kesinambungan
kegiatan pembangunan yang stabil dan dinamis dalam rangka mengantisipasi
kemungkinan adanya berbagai kendala yang menghambat upaya kita menjawab kedua
tantangan di atas. Untuk menjawab dengan tepat tantangan tersebut di atas,
diperlukan komitmen dan tanggung jawab yang besar dari ketiga wadah pelaku
ekonomi tersebut.
Konkritnya adalah
peningkatan dan pematangan integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi, yang
dilandaskan atas jiwa dan semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Proses
integrasi tersebut adalah proses hubungan keterkaitan integratif yang telah dan
sedang dilaksanakan untuk mengembangkan ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut
sesuai dengan fungsinya masing-masing. Peningkatan dan pemantapan proses
integrasi tersebut mutlak harus dilaksanakan untuk menjawab tantangan
pembangunan di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan
masalah mendasar tersebut, adalah menarik untuk dikaji pemikiran beberapa pakar
yang mengatakan bahwa dalam tata perekonomian kita yang didasarkan pada
Demokrasi Ekonomi, ketiga wadah pelaku ekonomi memang mempunyai komitmen dan
tanggungjawab yang sama terhadap terwujudnya Trilogi Pembangunan.
Namun demikian
sesungguhnya terdapat pembagian kerja bagi masing-masing wadah pelaku ekonomi
tersebut. Pembagian kerja tersebut merupakan konsekuensi akibat perbedaan
ciri-ciri organisasi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Hal ini
terutama berkaitan dengan tingkat efisiensi masing-masing wadah pelaku ekonomi
tersebut dalam mencapai salah satu unsur dari Trilogi Pembangunan.
Dilihat dari tingkat
efisiensi, masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut mempunyai keunggulan
komparatif sendiri-sendiri dalam mewujudkan perekonomian nasional yang
berlandaskan Trilogi Pembangunan. Melalui pemikiran tersebut di atas, dapat
dirumuskan suatu pola pembagian kerja di antara ketiga wadah pelaku ekonomi
tersebut, bukan dalam bentuk gagasan pengkaplingan bidang usaha, melainkan
dalam pembagian kerja secara fungsional yang berlandaskan pada Trilogi
Pembangunan.
Koperasi dengan
sifat-sifat khas berdasarkan prinsip kelembagaannya, nampak lebih efisien untuk
melaksanakan secara langsung tugas pokoknya di bidang pemerataan. Tentu saja
hal ini dilakukan dengan tidak mengabaikan tanggungjawab dan tugasnya di bidang
pertumbuhan dan stabilitas. Pemikiran tentang tugas pokok koperasi seperti
diuraikan oleh para pakar tersebut, memang dapat merupakan rasionalisasi dari
tugas koperasi yang telah secara tegas tercantum dalam arah pembangunan jangka
panjang [GBHN], yaitu sebagai wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan
kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah agar mereka dapat ikut
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan sekaligus dapat ikut menikmati
hasil-hasilnya.
Koperasi merupakan kunci
utama dalam upaya mengentaskan anggota masyarakat kita dari kemiskinan. Dengan
tugas fungsional koperasi seperti itu, diharapkan akan lebih efisien apabila
fungsinya diarahkan untuk tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan potensi
pertumbuhan yang ada, tanpa harus mengabaikan fungsinya dalam mengembangkan
tugas stabilitas dan pemerataan. Sedangkan BUMN, sebagai satu wadah pelaku
ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih
efisien dalam tugas pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi
merintis pertumbuhan dan pemerataan. Apabila kita dapat mengikuti pemikiran
para pakar seperti diuraikan di atas, maka akan lebih memperkuat alasan bahwa
untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang, masing- masing wadah pelaku
ekonomi seharusnya tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri.
Ketiga wadah pelaku
ekonomi tadi justru harus berkembang dan saling terkait satu sama lain secara
integratif. Tanpa keterkaitan integratif seperti itu, perekonominan nasional kita
tidak akan mencapai produktivitas dan efisiensi nasional yang tinggi. Di
samping itu kita akan selalu menghadapi munculnya kesenjangan antara tingkat
pertumbuhan dan tingkat pemerataan yang pada gilirannya akan mempengaruhi
tingkat stabilitas nasional. Hal ini disebabkan swasta dan BUMN, sesuai dengan
ciri organisasi dan tugasnya, memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh
dan berkembang secara lebih cepat. Sedangkan koperasi, sesuai dengan ciri-ciri
dan tugasnya yang berorintasi pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat
golongan ekonomi lemah, tumbuh dan berkembang lebih lamban dibanding dengan
kedua wadah pelaku ekonomi.
Oleh karena itu, harus
diusahakan agar tingkat pertumbuhan koperasi dapat sejajar dan selaras dengan
tingkat pertumbuhan pihak swasta dan BUMN sehingga tercapai pertumbuhan yang
merata. Untuk itu tidak dapat dihindarkan bahwa tingkat perkembangan koperasi
pada umumnya harus secara aktif dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi pada
wadah pelaku ekonomi swasta dan BUMN.
Sebaliknya pihak swasta
dan BUMN dalam pertumbuhannya mempunyai kewajiban untuk membantu koperasi
dengan memberikan peluang dan dorongan melalui proses belajar yang efektif.
Tentu saja bantuan tersebut tanpa harus mengganggu prestasi dan gerak
pertumbuhan swasta dan BUMN itu sendiri.
Dengan demikian
koperasi, dalam proses perkembangannya, akan lebih terdorong untuk berkembang
lebih cepat dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai wadah pemerataan dan
mampu mempertahankan perkembangannya, sehingga tidak menjadi beban bagi swasta
dan BUMN. Kondisi semacam itu merupakan wujud nyata gambaran pelaksanaan jiwa
dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam tata perekonomian nasional
kita.
Dalam hubungan itu tepat
apa yang dijabarkan ISEI dalam naskah penjabaran Demokrasi Ekonomi, bahwa wadah
pelaku ekonomi yang kuat tidak dihalangi dalam upayanya memperoleh kemajuan dan
perkembangan. Mereka justru berkewajiban membantu perkembangan wadah pelaku
ekonomi lainnya yang lebih lemah. Sebaliknya pelaku ekonomi yang lemah perlu
dibantu dan diberi dorongan agar dapat lebih maju.
Dengan demikian semua
pelaku ekonomi dapat tumbuh dan berkembang bersama-sama sesuai dengan
fungsinya. Selanjutnya bentuk hubungan keterkaitan integratif tersebut dalam
pelaksanaannya harus tetap dilandaskan dan mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi
yang rasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Oleh karena itu keterkaitan
integratif harus dilaksanakan tetap dalam kerangka hubungan yang saling memberi
manfaat, baik manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Manfaat sosial di sini
berarti bahwa secara langsung maupun tidak langsung, jangka pendek maupun
jangka panjang, pasti akan memberikan manfaat ekonomi.
Secara lebih konkrit
bentuk keterkaitan integratif dapat berupa tiga bentuk utama, yaitu: persaingan
yang sehat, keterkaitan mitra-usaha dan keterkaitan kepemilikan. Dalam membahas
keterkaitan integratif melalui persaingan yang sehat, bentuk keterkaitan
tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan adanya kesepakatan untuk bersaing
dengan masing-masing mendapatkan keuntungan yang wajar tanpa harus saling
merugikan.
Hal itu dapat
diwujudkan, baik melalui peningkatan efisiensi masing-masing pihak dalam
mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal, maupun melalui pemanfaatan
peranan salah satu wadah pelaku ekonomi sebagai pengimbang bagi pelaku ekonomi
lain dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada bidang tertentu. Semua langkah
tersebut diorientasikan pada upaya untuk selalu mengefisienkan pemanfaatan
sumber daya yang tersedia dengan tetap menerima kondisi keterkaitan satu sama
lain dalam sistem perekonomian nasional.
Salah satu contoh
keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas dalam bentuk yang mungkin
masih terus disempurnakan, diantaranya adalah tata niaga pangan, khususnya padi
dan palawija. Dalam tata niaga pangan tersebut, telah dapat diwujudkan suatu
bentuk keterkaitan antara BUMN, koperasi dan swasta, baik sebagai produsen
maupun konsumen yang masing-masing dapat menjalakan tugas pokoknya dan
mendapatkan keuntungan serta manfaat yang wajar sehingga mereka dapat lebih
tumbuh bersama secara merata dan saling tergantung satu sama lain.
Selanjutnya bentuk
keterkaitan integratif lainnya dapat bersifat komplementer atau substitusi pada
suatu bidang usaha tertentu. Keterkaitan komplementer diartikan bahwa setiap
wadah pelaku ekonomi yang masih lemah di bidang tertentu, dapat dibantu dan
diperkuat oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang mampu di bidang itu, sehingga
secara bertahap yang lemah tadi menjadi kuat. Dalam hubungan itu masing-masing
wadah pelaku ekonomi yang terlibat dalam hubungan tersebut haruslah berada
dalam posisi dan kedudukan yang setaraf.
Dengan demikian nilai
tambah yang dihasilkan dapat dibagi secara proporsional atau seimbang, sesuai
dengan prestasi masing-masing wadah pelaku ekonomi. Bentuk keterkaitan
Bapak–Anak angkat, Pola PIR, adalah beberapa contoh bentuk keterkaitan
komplementer seperti diuraikan di atas.
Dalam kerangka
keterkaitan substitusi tersebut apabila salah satu wadah pelaku ekonomi, karena
satu dan lain hal, tidak mampu melakukan misi dan peranannya maka untuk
sementara peranan tersebut dapat digantikan oleh wadah pelaku ekonomi lainnya
yang lebih mampu. Dalam kaitan itu, bentuk substitusi ini dapat dilakukan baik
oleh BUMN maupun swasta besar untuk membantu wadah pelaku ekonomi lain yang
masih lemah, baik yang tergabung dalam bentuk swasta maupun koperasi.
Selanjutnya pada saat
tertentu, jika kondisinya telah memungkinkan, BUMN dan swasta dapat secara
bertahap menyerahkan kembali kepemilikan dan pengelolaan usaha itu kepada salah
satu wadah pelaku ekonomi yang lemah tadi sesuai dengan bidang usaha yang
dikembangkannya. Apabila kegiatan usaha tersebut menyangkut pemerataan,
pemilikan dan pengelolaan usaha tersebut diserahkan kepada koperasi.
Sedangkan kegiatan usaha
yang menyangkut bidang pertumbuhan ekonomi dapat diserahkan pada sektor swasta.
Sebagai contoh yang aktual, bentuk keterkaitan substitusi adalah Tata Niaga
Cengkeh. Karena koperasi belum mampu melaksanakannya sendiri, tugas tersebut
dilaksanakan oleh swasta yaitu BPPC.
Selanjutnya secara
bertahap sesuai dengan kemampuan koperasi, tugas tersebut diserahkan secara
penuh kepada koperasi. Ketiga bentuk keterkaitan tersebut di atas, suatu saat
akan sampai pada posisi yang lebih terintegrasi secara total, dalam bentuk keterkaitan
kepemilikan. Melalui bentuk keterkaitan tersebut, secara bertahap koperasi
dapat memilki saham perusahaan, baik koperasi itu sendiri memilki keterkaitan
usaha secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan dimaksud.
Dari uraian di atas,
maka jelaslah bahwa integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut yang telah
mulai dilaksanakan pada PJPT–I ini harus terus ditekankan dan dimantapkan
sebagai wadah dasar guna menggerakkan upaya mewujudkan Trilogi Pembangunan:
pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas yang secara selaras, terpadu, saling
memperkuat serta mendukung sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing
wadah pelaku ekonomi tersebut di masa mendatang.
Dari keseluruhan pola
pikir seperti diuraikan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa dalam tatanan
perekonomian nasional, koperasi Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang
sarat dengan misi pembangunan, terutama terwujudnya pemerataan.
Koperasi Indonesia
merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional kita. Peranan itu
memang susuai dengan ketetapan mengenai fungsi koperasi sebagaimana tercantum
dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1967 tentang pokok-pokok Perkoperasian yang
menegaskan bahwa koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi guna mempertinggi
kesejahteraan rakyat banyak.
Dari kerangka pendekatan
dan pemikiran yang bersifat integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi
Indonesia adalah suatu badan usaha yang seharusnya dapat bergerak di bidang
usaha apa saja sepanjang orientasinya adalah untuk meningkatkan usaha golongan
ekonomi lemah. Koperasi ini pada gilirannya akan memberikan dampak berupa
peningkatan kesejahteraan mereka.
Orientasi usaha seperti
itulah yang merupakan salah satu ciri sosial dari koperasi yang membedakannya
dengan badan usaha lainnya. Dalam hubungan ini perlu juga adanya kejelasan
terhadap pendapat bahwa karena koperasi harus melayani yang lemah dan kecil,
maka usaha koperasi tidak dapat menjadi besar.
Pendapat demikian ini
adalah keliru, karena justru untuk memperoleh kelayakan usahanya, setiap
koperasi harus didorong dan dikembangkan menjadi besar dengan menghimpun
kekuatan ekonomi dari mereka yang lemah dan kecil-kecil. Memang perlu
ditegaskan bahwa besarnya usaha koperasi seperti di atas bukanlah tujuan,
tetapi hanya merupakan dampak dari suatu upaya untuk dapat mengembangkan
dirinya secara efektif dan efisien.
Tolak ukur perkembangan
koperasi Indonesia bukan saja besar atau kecilnya volume usaha atau
sumbangannya dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kurang relevan kalau
mengukur keberhasilan koperasi dengan ukuran keberhasilan BUMN atau swasta.
Yang menjadi ukuran
koperasi Indonesia adalah sejauh mana usaha koperasi itu terkait dengan usaha
anggotanya terutama golongan ekonomi lemah, dan pada gilirannya dapat
menghasilkan manfaat sebesar-besarnya dalam proses peningkatan kesejahteraan
mereka.
Dengan perkataan lain
yang diukur adalah sumbangannya secara langsung dalam proses melaksanakan
fungsi pemerataan. Dengan cara pandang demikian koperasi yang memiliki usaha
kecil, namun terkait dengan kegiatan usaha para anggotanya akan memiliki bobot
kualitas yang lebih tinggi dibanding dengan koperasi yang memiliki usaha besar
tetapi tidak terkait dengan kegiatan usaha atau kepentingan para enggotanya.
Dalam hubungan itu
tepatlah apa yang dikatakan mantan Presiden Soeharto bahwa, “masih ada yang
berpendapat bahwa koperasi tertinggal jauh dibandingkan BUMN dan perusahaan
swasta, karena tidak ada koperasi yang memiliki bangunan megah atau usaha
berskala besar. Padahal tujuan koperasi bukanlah untuk mendirikan usaha besar
serta gedung mewah. Tetapi yang jelas tugas utama koperasi adalah tetap
berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran anggotanya.”
Selanjutnya dalam rangka
mengukur keberhasilan pembangunan koperasi juga terdapat pandangan yang kurang
tepat apabila dilakukan dengan membandingkan kelambanan proses perkembangan
koperasi di Indonesia dengan kecepatan kemajuan koperasi di negara-negara lain,
terutama negara-negara maju. Hal ini disebabkan karena koperasi yang sudah
pesat kemajuannya di negara lain pada umumnya telah berkembang rata-rata lebih
dari 50 tahun.
Sedangkan di Indonesia
perkembangan koperasi mulai dibangun secara konseptual dan intensif sejak
Pelita II. Di samping itu di negara yang koperasinya sudah maju, pada awal
perkembangannya, koperasi tidaklah diberi peran formal untuk mengatasi
kemiskinan. Kalau toh ada golongan ekonomi lemah pada saat itu maka jelas
golongan tersebut kondisinya jauh lebih baik dibanding dengan kondisi golongan
ekonomi lemah di Indonesia.
Dengan posisi seperti
itu adalah hal wajar apabila koperasi Indonesia tumbuh lebih lamban, karena
membangun koperasi Indonesia tidak mudah dan sederhana mengingat umumnya
koperasi dibentuk oleh mereka yang bermodal kecil, berketerampilan sederhana
dan tidak memiliki pengetahuan manajemen yang memadai.
Setelah diketahui dengan
jelas fungsi koperasi di Indonesia, maka permasalahan selanjutnya adalah
bagaimana strategi pembangunannya. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa
masalah utama dalam pengembangan koperasi Indonesia adalah belum tersedianya
jaminan pasar, kelemahan manajemen dan keterbatasan modal.
Masalah seperti itu
perlu segera diatasi dengan strategi pembinaan yang tepat dan efektif, serta tetap
mengacu pada strategi pembangunan nasional kita seperti yang telah diuraikan di
atas, yaitu strategi keterkaitan integratif. Strategi itu telah mulai
dilaksanakan sejak Pelita II yang lalu, dengan upaya mengembangkan koperasi
Indonesia di pedesaan yang kita kenal dengan Koperasi Unit Desa [KUD]. Strategi
itu telah berhasil tidak saja mengembangkan KUD-KUD yang sebagian besar telah
mandiri, namun juga sekaligus mampu mengembangkan mitra usahanya baik swasta
maupun BUMN.
Namun demikian harus
diakui bahwa keberhasilan tersebut belum lagi optimal. Koperasi Indonesia belum
lagi dapat berfungsi secara efektif terutama dalam rangka mengangkat rakyat
kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Itu merupakan tantangan besar
bagi koperasi Indonesia. Untuk itu strategi keterkaitan integratif tersebut
harus lebih digalakkan dan dimantapkan dalam pelaksanaannya di masa mendatang.
Selanjutnya suatu aspek
lain yang perlu kita bahas adalah agar proses hasil keterkaitan integratif itu
dapat optimal dan efisien, seyogyanya ketiga wadah pelaku ekonomi tidak
berupaya untuk mengembangkan dirinya menjadi organisasi yang eksklusif. Dalam
hubungan ini koperasi Indonesia juga harus lebih terbuka karena sikap
eksklusifnya hanya akan semakin memperlemah posisinya.
Melalui keterbukaan
tersebut, semua aset nasional akan dapat dimanfaatkan untuk menjadi faktor
pendorong dalam mempercepat perkembangan koperasi Indonesia, tanpa harus
kehilangan asas sendi-sendi dasarnya. Untuk itu, di samping terus mengembangkan
kekuatan jaringan koperasi sendiri, seharusnya yang lebih penting adalah
menyempurnakan kebijaksanaan dan strategi pembangunan koperasi Indonesia
sebagai suatu sistem yang lebih terpadu.
Melalui sistem tersebut,
di samping akan dapat dimanfaatkan instansi pembina koperasi terkait juga akan
dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang berkepentingan, terutama kedua wadah
pelaku ekonomi lainnya untuk membantu bekerjasama dalam membangun koperasi
berdasar kerangka hubungan keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas.
Sebagai contoh aktual,
misalanya pengembangan aspek permodalan koperasi. Untuk mengatasi keterbatasan
permodalan yang dimiliki koperasi, di samping mengembangkan lembaga keuangan
[bank maupun lembaga keuangan bukan bank] milik koperasi sendiri, koperasi
Indonesia harus dapat mengembangkan suatu sistem permodalan koperasi Indonesia
yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga keuangan non-koperasi untuk membantu
mengatasi kebutuhan permodalan koperasi tersebut.
Ketentuan dan
kebijaksanaan Pakjan 29/1990 misalanya adalah salah satu bentuk kongkrit dari
sistem permodalan koperasi. Melalui ketentuan itu semua lembaga keuangan bank
milik pemerintah, swasta maupun koperasi dapat bersama-sama berkiprah untuk
mengatasi dan membangun permodalan koperasi yang kokoh dan kuat.
Selanjutanya dalam
rangka menyempurnakan kebijaksanaan strategis pembangunan koperasi Indonesia
tersebut di atas, ketentuan-ketentuan yang ada dan tidak relevan perlu ditinjau
kembali dengan pengertian untuk mempercepat peningkatan kwalitasa internal
organisasi koperasi agar benar-benar dapat menjadi lembaga usaha yang efisien
dan mandiri.
Melalui langkah itu,
diharapkan koperasi Indonesia akan mampu memanfaatkan peluang yang dihadapi
dalam kegiatan usahanya sendiri, dan selanjutnya mampu mengembangkan hubungan keterkaitan
integratif dengan dua wadah pelaku ekonomi lainnya.
Sejarah mencatat bahwa
citra koperasi pernah merosot hingga titik terendah pada masa lalu. Hal itu
disebabkan karena terjadinya praktek-praktek berkoperasi yang sudah jauh
menyimpang dari prinsip dan sendi dasar koperasi sendiri. Akibatnya, saat itu
rakyat telah kehilangan kepercayaan terhadap koperasi. Sekiranya dibiarkan,
akan diperlukan waktu yang relative sangat lama untuk menumbuhkan kembali
kepercayaan rakyat itu.
Oleh sebab itu pemerintah
berkewajiban untuk membantu upaya membangun kembali citra koperasi. Yang
terpenting untuk diketahui adalah bahwa keterlibatan pemerintah itu bukanlah
keterlibatan permanen, tetapi hanya bersifat sementara.
Berdasar hal itu
kebijakan pemerintah untuk membina koperasi Indonesia, khususnya koperasi
pedesaan, adalah dengan menerapkan strategi tiga tahap pembangunan: tahap
ofisialisasi, tahap deofisialisasi dan tahap otonomi.
Pada tahap ofisialisasi,
pemerintah secara sadar mengambil peran besar untuk mendorong dan mengembangkan
prakarsa dalam proses pembentukan koperasi. Lalu, membimbing pertumbuhannya
serta menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan.
Sasarannya adalah agar
koperasi dapat hadir dan memberikan manfaat dalam pembinaan perekonomian
rakyat, yang pada gilirannya diharapkan akan menumbuhkan kembali kepercayaan
rakyat sehingga mendorong motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan
koperasi tersebut.
Tahap deofisialisasi
ditandai dengan semakin berkurangnya peran pemerintah. Diharapkan pada saat
bersamaan partisipasi rakyat dalam koperasi telah mampu menumbuhkan kekuatan
intern organisasi koperasi dan mereka secara bersama telah mulai mampu
mengambil keputusan secara lebih mandiri. Tahap ketiga adalah otonomi. Tahap
ini terlaksana apabila peran pemerintah sudah bersifat proporsional. Artinya,
koperasi sudah mampu mencapai tahap kedudukan otonomi, berswadaya atau mandiri.
Tahapan tersebut di atas
telah dilaksanakan secara konsisten sejak Pelita II, di mana pemerintah
pertama-tama memprakarsai untuk menyusun konsep kelembagaan koperasi pedesaan.
SUMBER : ERLAN-GLEN
0 komentar:
Posting Komentar