RSS

Tugas 4 Perekonomian Indonesia


Mencegah Papua Lepas Dari Indonesia
Suasana mencekam kembali mewarnai bumi Papua empat hari belakangan ini. Warga dibuat ketakutan dengan beredarnya pesan singkat via telepon seluler yang menyebut bakal ada pembunuhan secara berantai di mana-mana. Kontan saja, sebagian warga Jayapura ketakutan keluar rumah, terutama di malam hari. Sejumlah ruas jalan yang biasanya ramai pada jam tertentu, kini terlihat sedikit lengang sejak pesan singkat itu menyebar.
Beredarnya pesan singkat itu menandai panasnya situasi politik di Papua. Puncaknya terjadi pada Selasa (2/8), dimana ribuan orang turun ke jalan, mamadati beberapa kota di Papua. Di Manokwari, Papua Barat, misalnya, massa membawa sejumlah poster terkait kekerasan yang dialami warga Papua, massa berjalan kaki mengelilingi Kota Manokwari selama hampir tiga jam.

Di Timika, unjuk rasa dipusatkan di lapangan sepakbola Timika Indah. Mereka mendukung konferensi tentang nasib Papua Barat yang digelar pengacara, akademisi, dananggota parlemen asing di Oxford, Inggris. Para akademisi menilai, penentuan pendapat rakyat yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1969, cacat hukum. Acara ini juga diramaikan dengan tarian waita.

Sedangkan di Jayapura, ribuan warga Papua memadati Jalan Expo Waena, Abepura, dalam unjuk rasa terkait referendum 42 tahun lalu. Akibatnya, arus lalu lintas menuju Bandar Udara Sentani dialihkan melalui jalur alternatif. Menuntut referendum ulang, para demonstran berjalan kaki menuju kantor DPRD Papua.

Massa yang turun ke jalan mengaku gabungan dari tiga kelompok organisasi, yakni Pergerakan Papua Merdeka atau West Papua National Autority, Komite Nasional Papua Barat, dan Dewan Adat Papua. Mereka mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan referendum. Para peserta aksi itu meyakini bahwa referendum merupakan jalan tengah untuk menyelesaikan status politik Papua Barat.

Massa juga mengklaim, jika semua tindakan kekerasan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua telah dilaporkan ke mahkanah internasional. Menurut kordinator aksi, Markus Yenu, aksi ini sebagai bagian dari tuntutan masyarakat Papua di Manokwari untuk meminta segera dilaksanakan referendum, sekaligus merespons konferensi yang berlangsung di Inggris untuk penyelesaian masalah Papua.

Tuntutan aksi damai mereka, yakni kemerdekaan tanah Papua lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demo juga bermaksud mendukung internasionalisasi masalah Papua yang menolak hasil Penetuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Kabarnya, aksi juga dilakukan di beberapa tempat, bahkan di luar negeri.

Di Manokwari, dengan dikawal ketat aparat keamanan, para demonstran meneriakkan yel-yel "Papua Merdeka" sepanjang jalan. Beberapa aktivis Papua Merdeka berorasi secara bergantian. Isi orasinya adalah menuntut segera dilakukannya referendum. Mereka juga menyebut pemerintah telah banyak melakukan pelanggaran HAM terhadap warga sipil Papua. Setelah berorasi di panggung penerangan, massa kemudian menyampaikan statement politik yang dikeluarkan Badan Pengurus Wilayah Komite Nasional Papua Barat Wilayah Manokwari.

Akibat unjuk rasa ini, sejumlah ruas jalan di Kota Manokwari mengalami kemacetan. Sementara sejumlah toko dan kios serta pusat perbelanjaan pasar tingkat Sanggeng Manokwari memilih untuk lebih awal menutup rukonya demi menghindari aksi anarkis.

Demo besar-besaran itu menyusul banyaknya kekerasan yang terjadi di Papua. Sejumlah peristiwa berdarah terjadi, mulai dari bentrok antarwarga terkait Pilkada Kabupaten Puncak, menyusul penghadangan dan penembakan di Kampung Nafri Abepura yang menewaskan empat orang, serta penyerangan terhadap polisi di Paniai.

Nah, kekerasan demi kekerasan itu dijadikan alibi oleh kelompok tertentu untuk menuntut referendum. Namun seorang tokoh masyarakat Papua, Nico Mauri, menilai bahwa langkah itu bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional. Bagi Nico, Papua adalah bagian dari NKRI yang tidak terpisahkan. "Jangan berupaya membuat negara dalam negara, itu sangat bertentangan dengan fakta sejarah bangsa," ucapnya.

Nico menegaskan, otonomi khusus merupakan solusi final dimana suatu wujud nyata kompromi politik antara Papua dan Jakarta dalam menjawab tuntutan aspirasi Papua Merdeka. "Dan ini merupakan bukti realita Pemerintah mempertahankan integritas wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke," katanya.

Untuk itu, Nico mengimbau masyarakat tetap tenang dan tidak terpancing provokasi dan hasutan kelompok tertentu yang menginginkan Papua tidak tenang dengan terus mendengung-dengungkan isu referendum dan Papua Merdeka.

Referendum Papua memang bukan isu baru. Tuntutan tersebut sudah bergulir puluhan tahun, terutama dimotori oleh kelompok yang menolak hasil Pepera. Mereka mengangkat isu kemiskinan dan keterbelakangan rakyat Papua sebagai dalih untuk lepas dari NKRI. Kemiskinan permanen itu dianggap sebagai dosa penguasa negeri ini.

Di Kabupaten puncak, misalnya, 90% warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Tetapi menurut Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe, kemiskinan itu akibat pola hidup masyarakat setempat yang konsumtif. "Uang sebanyak Rp 100 juta yang diberikan Pemerintah, saat itu juga langsung dihabiskan masyarakat. Mereka tidak tahu bagaimana caranya uang tersebut dilipat gandakan atau ditabung untuk masa depan," ujar Enembe, saat ditemui wartawan di Mulia, pada April 2011

Padahal, Papua terkenal kaya dengan tambang emas. Seharusnya, pemerintah memberikan perhatian lebih besar kepada warga Papua. Kekayaan Papua memang milik Indonesia selama wilayah itu menjadi bagian dari NKRI. Tapi, kekayaan di Papua harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat di provinsi itu. Tugas pemerintah mengatur agar rakyat Papua bisa menikmati kekayaan dalam jangka panjang, bukan hanya sesaat. Jika rakyat makmur, tentu tidak akan terpikir untuk merdeka, kecuali mereka yang punya kepentingan politik tertentu


Menurut Pendapat saya :
Masalah Papua tidak hanya ada di tanah Papua. Ketika kita menomor satukan keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara, dimana Papua ada didalamnya, maka masalah Papua adalah masalah Indonesia.
Meskipun sama sekali tidak mudah diwujudkan, percepatan pembangunan Papua adalah tuntutan mutlak.
Ironisnya kehidupan yang serba minim ini, tak pernah terpikirkan oleh para pengambil keputusan di Jakarta apalagi dihayati. Semakin jauh letak daerah yang memiliki permasalahan - dengan Jakarta sebagai pusat pengambilan semua keputusan terpenting, semakin jauh kepedulian para birokrat itu. Apalagi masih banyak birokrat yang berpikir untuk kepentingan diri sendiri termasuk mereka senang melakukan korupsi atas uang rakyat

Universitas Gunadarma

Universitas Gunadarma

Entri Populer